Rabu, 27 November 2013

Menasionalisasikan Sumber Daya Alam Indonesia Sesuai Amanah Konstitusi



Indonesia salah satu negara berkembang di dunia yang terkenal akan kekayaan dan keindahan  alam yang sangat luar biasa. Wilayah Indonesia yang mayoritas adalah daerah perairan juga memberikan andil yang besar pula terhadap kekayaan alam Indonesia. Tentunya, kita tidak bisa menghitung banyaknya kekayaan yang melimpah tersebut. Selain itu, laut juga menghiasi alam Indonesia. Berbagai sumber daya alam terkandung di dalamnya. Diantaranya, sumberdaya alam hewani dan nabati serta mineral. Aneka biota laut, khususnya ikan dengan berbagai macam jenis maupun ukuran menghiasi kekayaan laut. Rumput laut merupakan salah satu contoh sumber daya alam nabati.
 Lain dari pada itu, kekayaan Indonesia tidak sekadar terbatas pada kekayaan hayatinya, tetapi juga non hayatinya. Potensi kekayaan alam Indonesia yaitu areal hutan yang paling luas di dunia, tanahnya yang subur, alamnya yang indah, potensi kekayaan laut yang luar biasa (ikan, udang, mutiara, minyak dan mineral lainnya). Di darat terkandung barang tambang emas, nikel, timah, tembaga, batubara, di bawah perut bumi tersimpan gas dan minyak yang sangat besar.
            Potensi kekayaan alam Indonesia yaitu untuk biji-bijian nomer 6 di dunia, beras nomer 3 di dunia (setelah China & India), teh nomor 6 di dunia, kopi nomor 4 di dunia, coklat nomor 3 di dunia (setelah Pantai Gading & Ghana), minyak sawit nomor 2 di dunia setelah setelah Malaysia, lada putih terbesar di dunia dan lada hitam nomer 3 di dunia, puli dari buah pala terbesar di dunia, karet alam nomer 2 di dunia (setelah Thailand) dan penghasil karet nomer 4 di dunia jika termasuk karet sintetis.[1]
            Kekayaan tambang  9,5% produksi tembaga dunia nomer 3 setelah (Chili dan USA), 40% produksi timah dunia nomer 2 setelah China, 7% produksi nikel nomer 6 dunia, 5% produksi emas dunia nomor 8 dunia dan penghasilan batubara nomor 9 di dunia yang volume ekspornya meliputi 18,75% ekspor  batubara dunia. Di Papua saja terdapat 25 milyar ton tembaga nomor ke 3 dunia, 40 juta ons emas nomor 1 dunia dan 70 juta ons perak, yang nilainya ditaksir sekitar USD 40 milyar.[2]
            Dari aneka bahan tambang yang terkandung dalam perut bumi Indonesia tersebut tentunya merupakan kabar yang amat mengembirakan bagi kita rakyat Indonesia. Dan perlu disadari aneka bahan tambang tersebut merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, yang artinya bakal habis. Maka dengan itu pendayagunaan hasil sumber daya alam sudah menjadi keharusan diperuntukan buat mensejahterakan rakyatnya. Sesuai amanat konstitusi dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 “Bumi air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
            Secara normatif memang sumber daya alam diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakuran rakyat, namun hal ini bertolak belakang jika ditinjau dari segi empiris. Banyak perusahaan berdiri di Indonesia yang bergerak dalam bidang pertambangan dimiliki oleh perusahaan swasta baik dari dalam maupun luar negeri. PT. Freeport McMoran Indonesia, PT. Newmont Minahasa Raya, PT. Lapindo Brantas Inc dan PT. Adaro Indonesia adalah empat dari sekian banyak perusahaan yang mengambil keuntungan dari sumber daya alam indonesia.
            Sekali lagi Indonesia sebenarnya kaya akan sumber daya alam, namun posisi tawar Indonesia di hadapan negara-negara asing tetap saja lemah. karena sumber segala keruwetan adalah UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Melalui UU ini, ternyata banyak sekali pasal yang menguntungkan perusahaan tambang asing dan merugikan masyarakat. Singkat cerita, UU  pemerintah telah melepaskan perannya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan menyerahkan kepada para pemodal asing.
            Dalam Pasal 2 UU Nomor 4 tahun 2009 tersebut menyebutkan, bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berazaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan. Berarti, selama pemerintah memandang adanya kepemilikan asing bisa menguntungkan, maka kepemilikan modal mayoritas dari perusahaan asing boleh-boleh saja. Tapi nyatanya, beberapa perusahaan tambang asing justru malah menjadi sumber bencana bagi masyarakat Indonesia
            Tentu kita masih ingat bencana yang dibuat oleh PT. Lapindo Berantas Inc yang sampai sekarang belum kelar dampaknya. Akibat kelalaian Lapindo, pada 29 Mei 2006, lumpur panas menyembur dari sumur Banjar Panji-1 di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoardjo, Jawa Timur.  Semburan lumpur tersebut telah menimbulkan korban setidaknya 21 ribu jiwa atau lebih dari 3.500 KK (kepala keluarga) mengungsi, belasan desa terendam, ratusan hektar lahan pertanian terendam, puluhan bangunan sekolah terendam, dan tak kurang 20 perusahaan tutup.  Bahkan semburan lumpur Lapindo tersebut telah meningkatkan angka pengangguran akibat kehilangan pekerjaan. Kejadian ini juga telah melumpuhkan transportasi jalan tol Porong, Gempot, dan Surabaya, yang kerugiannya juga mengimbas pada perusahaan-perusahaan jasa angkutan dan transportasi ekonomi lainnya.[3] 
            PT. Freeport McMoran Indonesia juga mempunyai cerita tersendiri dari dampak lingkungan yang dibuat oleh mereka. Perusahaan tambang emas yang terletak disebelah timur Indonesia adalah perusahaan tambang tertua di negara ini. Perusahaan tambang Amerika ini sering dianggap mendikte kebijakan pertambangan di Indonesia. Salah satu bukti, Kontrak Karya PT Freeport Indonesia ditetapkan sebelum diberlakukannya UU Nomor 11/1967 tentang Pertambangan umum. PT Freeport yang berlokasi di  Grasberg dan Easberg, Pegunungan Jaya Wijaya, menguasai 81,28% saham, sedangkan PT Indocopper Investama sebesar 9,36%, dan pemerintah Indonesia sebesar 9,36%. Luas konsesi yang diberikan kepada Freeport pun luar biasa, 1,9 juta hektar lahan di Grasberg dan 100 km2 di Easberg.[4]
            Kehadiran Freeport justru menjadi bencana bagi masyarakat Papua daripada berkah. Bayangkan, Penambangan yang dilakukan Freeport telah menggusur ruang penghidupan suku-suku di pegunungan tengah Papua. Tanah-tanah adat tujuh suku, di antaranya suku Amungme dan Nduga, telah dirampas sejak awal masuknya Freeport. Limbah tailling yang dihasilkan PT Freeport telah menimbun 110 km2 wilayah  Estuari dan mengalami pencemaran linkungan. Sekitar 20-40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur akibat pembuangan limbah tailing tersebut.
            Ketika banjir tiba, kawasan-kawasan subur di lokasi itupun tercemar. Perubahan arah sungai Ajkwa pada perkembangannya telah menyebabkan banjir, kehancuran hutan-hutan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Kaum perempuan di Papua tidak bisa lagi mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke Papua. Timika, kota tambang PT. Freeport Indonesia, merupakan kota dengan penderita HIV/AIDS tertinggi di Indonesia.[5]
            Dari rentetan dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat pertambangan tentu sangat tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Namun sekali lagi bisa dikatakan konstitusi telah dicederai jika kita menelaah lebih mendalam pada salah satu pasal UU yang mengatur pertambangan ini (UU No.4 tahun 2009). Dalam pengaturan mengenai IUP (izin usaha pertambangan) Pasal 47, bahwa operasi produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu 20 tahun dan kemudian dapat diperpanjang lagi selama 2 kali masing-masing 10 tahun. Secara matematika IUP dapat digunakan selama 40 tahun oleh perusahaan pertambangan. Bayangkan  dampak lingkungan jika selama 40 tahun tersebut secara terus menerus sumber daya alam kita digerogoti oleh perusahaan tambang. Jadi, dimanakah letak amanah konstitusi mengenai pendayagunaan kekayaan alam yang katanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?
            Belum lagi masalah bagi hasil, dalam Pasal 129 Indonesia hanya mendapatkan 10% (4% untuk pemerintah pusat dan 6% pemerintah daerah penghasil) dari hasil operasi pertambangan. Dan kembali jadi pertanyaan apakah ini yang dikatakan SDA diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?
            Coba kalau pemerintah dan DPR membuat regulasi dalam bentuk UU untuk menasionalisasikan dengan mengembalikan sumber kekayaan alam Indonesia kepada rakyat Indonesia, yang sering disebut sebagai harta kepemilikan umum, maka dengan alih, tidak diserahkan kepada pihak swasta baik dalam dan luar negeri, lalu kemudian dikelolaan dan hasilnya untuk pelayanan umum seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, dan layanan umum lainnya, dari sumber daya alam indonesia, dapat ini bisa menjadi solusi untuk membayar hutang. Hal ini pernah dilakuakn oleh Presiden Soekarno yang menghentikan dan mencabut izin perusahaan-perusahaaan asing di Indonesia.
            Mungkin inilah tantangan terbesar bagi calon Presiden yang akan berlaga pada tahun 2014 mendatang. Sudah jelas, bahwa pertambangan sangat-sangat tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Jangan sampai rakyat dijadikan korban lagi. Dan, yang lebih utama, kekayaan alam tersebut jangan hanya dieksplorasi besar - besaran oleh pihak yang hanya ingin memanfaatkan dan tidak bertanggung jawab akan lingkungan, tetapi dalam kegiatan eksplorasi harus juga menjaga kelestarian alam dan lingkungan dari kerusakan dan polusi demi generasi penerus bangsa berikutnya.



[1] Suara Merdeka. 2005
[2] Julianto. APBD Anti Rakyat. Majalah Al-Wa’ie. Edisi No.122 Tahun XI, 1-31 Oktober 2010. Hlm 11.
[3] Imbas Aktivitas Pertambangan, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=367&type=10#.UpSpFFO_TDc. Diakses tanggal 26 November 2013.
[4] Ibid.
[5] Ibid.

Sabtu, 13 Juli 2013

Sistem Hukum Adat



Sistem hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asisa lainnya, seperti Cina, India, Jepang dan negara lain. Istilahnya berasal dari bahasa Belanda “Adatrecht” yang pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Penegertian hukum adat yang digunakan oleh Mr. C. van Vollenhoven (1928) mengandung makna bahwa hukum Indonesia dan kesusilaan masyarakat merupakan hukum adat. Adat tidak dapat dipisahkan dan hanya mungkin dibedakan dalam akibat-akibat hukumya. Kata “hukum” dalampengertian hukum adat lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa.Hal itu karena trdapat peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan keutuhannya oleh pelbagai golongan tertentu dalam lingkungan sosialnya, seperti masalah pakaian, pangkat pertunangan dan sebagainya. Sementara itu, istilah “Indonesia” digunakan untuk membedakan dengan hukum adat lainnya di kawasan Asia. Kata Indonesia untuk pertama kali dipakai pada tahun 1850 oleh James Richardson Logan dalam salah satu karangannya di Penang yang dimuat dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Sebutan itu untuk menunjukkan adanya nama bangsa-bangsa yang hidup di Asia Tenggara.
Sistem hukum adat bersumber pada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya yang mempunyai tipe bersifat tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenek moyang. Peraturan-peraturan hukum adat hukum adat juga dapat berubah tergantung perkembangan zamannya. Dari sumber hukum yang tidak tertulis itu,hukum adat dapat memperlihatkan ksanggupannya untuk menyesuaikan diri dan elastis.
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
  2. Tanah Gayo, Alas dan Batak
    1. Tanah Gayo (Gayo lueus)
    2. Tanah Alas
    3. Tanah Batak (Tapanuli)
      1. Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
      2. Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
      3. Nias (Nias Selatan)
  3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
  4. Mentawai (Orang Pagai)
  5. Sumatera Selatan
    1. Bengkulu (Renjang)
    2. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
    3. Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
    4. Jambi (Orang Rimba, Batin, dan Penghulu)
    5. Enggano
  6. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
  7. Bangka dan Belitung
  8. kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
  9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)
  10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
  11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
  12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula)
  13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
  14. Irian
  15. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
  16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
  17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
  18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
  19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)
Berdasarkan sumber hukum adat dan tipe hukum adat, dari sembilan belas daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia sistem hukm adat dibagi dalam tiga kelompok.
a.       Hkum adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat). Hukum adat ini mengatur tentang susunan dari dan dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemenschappen) serta susunan dan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan dan pejabatnya.
b.      Hukum adat mengenai warga (hukum warga) terdiri dari :
1)      Hukum pertalian sanak (perkawinan, waris);
2)      Hukum tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah);
3)      Hukum perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksi tentang benda selain tanah dan jasa).
c.       Hukum adat mengenai delik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang pelbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaraan hukum pidana itu.

Yang berperan dalam melaksakan sistem hukum adat ialah pemuka adat. Pemuka adat sebagai pemimpin besar pengaruhnya terhadap suatu lingkungannya dan sangat disegani masyrakat adatnya untuk menjaga hidup sejahtera.

Sumber : Pengantar Hukum Indonesia R. Abdoel Djamali, S.H. dan Wikipedia

Jumat, 12 April 2013

Tugas Hukum Acara PTUN


·         Prihal
Tugas ini akan membahas mengenai sengketa Tata Usaha Negara (TUN) yang berkaitan dengan memberikan contoh kasus sengketa TUN yang proses awalnya bisa menggunakan/melaui  proses administratif dahulu terhadap instansi yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan.

·         Contoh Kasus
Ahmad adalah seorang ahli waris tunggal atas tanah seluas 30 hektar di Desa Tabuan, dari ayah dan ibunya yang meninggal dunia disaat Ahmad masih berusia 15 tahun. Kerena usia Ahmad yang masih tergolong dibawah umur maka tanah warisan dari ayahnya itu diurus atau di kuasakan oleh paman angkatnya yang kebetulan berada dan bertempat tinggal di Desa Tabuan itu. Ahmad yang hidup di Beijing sekarang sudah beranjak dewasa, di usianya yang sudah 23 tahun ini dia mulai memikirkan tanah yang diwariskan oleh ayahnya dahulu. Dia pun pergi ke Desa Tabuan untuk melihat tanah tersebut, disana ahmad terkejut ketika melihat tanah warisan orang tuanya tersebut sekarang sudah menjadi tempat pemancingan dan tambak ikan yang besar. Ahmad pun bingung kenapa bisa sampai seperti ini, dengan kebingungannya dia langsung mendatangi tempat tersebut dan mencari informasi siapa pemilik tempat usaha ini. Setelah ditelusuri Ahmad mendapatkan jawaban siapa pemiliknya, pemiliknya ternyata  adalah Juragan Abdullah  yang mengaku sudah membeli tanah ini sejak 5 tahun lalu dari saudara Danang  yang tidak lain adalah orang kepercayaan Ahmad untuk mengurusi tanah warisannya tersebut dengan bukti sertifikat kepemilikan tanah. Ahmad langsung beranjak untuk mencari Danang untuk mencari kejelasan namun sayang hasilnya nihil, Danag dikarkan telah meninggal 5 tahun yang lalu kata warga setempat. Dalam kasus ini beruntung si Ahmad masih mempunyai bukti otentik mengenai hak kepemilikan tanah tersebut yang juga sama dengan Juragan Abdullah yaitu berupa sertifikat tanah dan kemudian iya berencana untuk menyelesaikan kasus ini melalui jalur hukum untuk mendapatkan keadilan.

·         Upaya Hukum
Dalam kasus ini mengenai sertifikat ganda yang terjadi, upaya hukum dapat dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kenapa PTUN? Dalam hal ini yang disengketakan adalah serifikat ganda yaitu berupa sertifikat tanah, sertifikat tanah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang. Dikuatkannya kenapa harus ke PTUN, dalam hal sertifikat ganda adalah merupakan sengketa TUN. Dan pengertian sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU PTUN).
            Walaupun yang disengketakan mengenai sengketa KTUN, Ahmad tidak serta merta langsung melakukan beracara di PTUN namun dalam hukum Acara PTUN mengenal istilah yang namanya upaya administratif yaitu, merupakan suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata mana kala ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara, hal mana prosedur tersebut dilaksanakan dilingkunan pemerintahan sendiri. Kewenangan penyelesaian Sengketa TUN melalui Upaya Administratif ini didasarkan pada Pasal 48 UU PTUN, yaitu:

Pasal 48
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.

(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

 Sertifikat tanah yang dikelurakan oleh instansi pemerintah yaitu Badan Petanahan Negara (BPN) ini merupakan salah satu maksud dari penjelasan pada Pasal 48 UU PTUN yang selanjutnya upaya hukum yang dilalui Ahmad disebut dengan Banding Administratif. Di banding administrtif Ahmad dapat mempertanyakan kesalah apa yang telah terjadi sampai-sampai ada dua sertifikat ini. Jika dalam proses ini dia merasa belum puas maka, upaya hukum selanjutnya bisa dilayangkan langsung Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN ).

·         Kesimpulan
Penyelesaian sengketa melalui jalur administratif ini menunjukkan ciri khas kultur bermusyawarah sebagaimana nilai Pancasila. Dengan adanya upaya administratif ini diharapkan komunikasi langsung dan musyawarah antara orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh diterbitkannya KTUN dan Badan/Pejabat yang mengeluarkan KTUN. Dari hal itu diharapkan dapat diketahui apa motivasi dikeluarkannya Keputusan TUN yang dianggap merugikan tersebut. Jika dengan dilakukannya upaya administratif telah berhasil memuaskan kedua belah pihak, maka tentu saja akan dapat dihindari penyelesaian sengketa yang panjang dan berlarut-larut, menguras tenaga, menguras fikiran dan keuangan masing-masing pihak.


Sumber :         -     UU PTUN No. 5 Tahun 1986
-          Bahan Kuliah Hukum Acara PTUN Fakultas Hukum Unlam
-          http://HukumOnline.com
-          www.wikipedia.com