Indonesia
salah satu negara berkembang di dunia yang terkenal akan kekayaan dan
keindahan alam yang sangat luar biasa.
Wilayah Indonesia yang mayoritas adalah daerah perairan juga memberikan andil
yang besar pula terhadap kekayaan alam Indonesia. Tentunya, kita tidak bisa
menghitung banyaknya kekayaan yang melimpah tersebut. Selain itu, laut juga
menghiasi alam Indonesia. Berbagai sumber daya alam terkandung di dalamnya.
Diantaranya, sumberdaya alam hewani dan nabati serta mineral. Aneka biota laut,
khususnya ikan dengan berbagai macam jenis maupun ukuran menghiasi kekayaan
laut. Rumput laut merupakan salah satu contoh sumber daya alam nabati.
Lain dari pada itu, kekayaan Indonesia tidak
sekadar terbatas pada kekayaan hayatinya, tetapi juga non hayatinya. Potensi
kekayaan alam Indonesia yaitu areal hutan yang paling luas di dunia, tanahnya
yang subur, alamnya yang indah, potensi kekayaan laut yang luar biasa (ikan,
udang, mutiara, minyak dan mineral lainnya). Di darat terkandung barang tambang
emas, nikel, timah, tembaga, batubara, di bawah perut bumi tersimpan gas dan
minyak yang sangat besar.
Potensi kekayaan alam Indonesia
yaitu untuk biji-bijian nomer 6 di dunia, beras nomer 3 di dunia (setelah China
& India), teh nomor 6 di dunia, kopi nomor 4 di dunia, coklat nomor 3 di
dunia (setelah Pantai Gading & Ghana), minyak sawit nomor 2 di dunia
setelah setelah Malaysia, lada putih terbesar di dunia dan lada hitam nomer 3
di dunia, puli dari buah pala terbesar di dunia, karet alam nomer 2 di dunia
(setelah Thailand) dan penghasil karet nomer 4 di dunia jika termasuk karet
sintetis.[1]
Kekayaan tambang 9,5% produksi tembaga dunia nomer 3 setelah
(Chili dan USA), 40% produksi timah dunia nomer 2 setelah China, 7% produksi
nikel nomer 6 dunia, 5% produksi emas dunia nomor 8 dunia dan penghasilan batubara
nomor 9 di dunia yang volume ekspornya meliputi 18,75% ekspor batubara dunia. Di Papua saja terdapat 25
milyar ton tembaga nomor ke 3 dunia, 40 juta ons emas nomor 1 dunia dan 70 juta
ons perak, yang nilainya ditaksir sekitar USD 40 milyar.[2]
Dari aneka bahan tambang yang terkandung
dalam perut bumi Indonesia tersebut tentunya merupakan kabar yang amat
mengembirakan bagi kita rakyat Indonesia. Dan perlu disadari aneka bahan
tambang tersebut merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, yang
artinya bakal habis. Maka dengan itu pendayagunaan hasil sumber daya alam sudah
menjadi keharusan diperuntukan buat mensejahterakan rakyatnya. Sesuai amanat
konstitusi dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 “Bumi air dan kekayaan alam
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Secara normatif memang sumber daya
alam diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakuran rakyat, namun hal ini
bertolak belakang jika ditinjau dari segi empiris. Banyak perusahaan berdiri di
Indonesia yang bergerak dalam bidang pertambangan dimiliki oleh perusahaan
swasta baik dari dalam maupun luar negeri. PT. Freeport McMoran Indonesia, PT. Newmont Minahasa Raya,
PT. Lapindo Brantas Inc dan PT. Adaro Indonesia adalah empat
dari sekian banyak perusahaan yang mengambil keuntungan dari sumber daya alam
indonesia.
Sekali lagi Indonesia sebenarnya
kaya akan sumber daya alam, namun posisi tawar Indonesia di hadapan
negara-negara asing tetap saja lemah. karena sumber segala keruwetan adalah UU Nomor
4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Melalui UU ini, ternyata banyak
sekali pasal yang menguntungkan perusahaan tambang asing dan merugikan
masyarakat. Singkat cerita, UU pemerintah telah melepaskan perannya dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan menyerahkan kepada para pemodal asing.
Dalam Pasal 2 UU Nomor 4 tahun 2009 tersebut
menyebutkan, bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berazaskan
manfaat, keadilan, dan keseimbangan. Berarti, selama pemerintah memandang
adanya kepemilikan asing bisa menguntungkan, maka kepemilikan modal mayoritas
dari perusahaan asing boleh-boleh saja. Tapi nyatanya, beberapa perusahaan
tambang asing justru malah menjadi sumber bencana bagi masyarakat Indonesia
Tentu kita masih ingat bencana yang
dibuat oleh PT. Lapindo Berantas Inc yang sampai sekarang belum kelar dampaknya.
Akibat kelalaian Lapindo, pada 29 Mei 2006, lumpur panas menyembur dari sumur
Banjar Panji-1 di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoardjo, Jawa
Timur. Semburan lumpur tersebut telah
menimbulkan korban setidaknya 21 ribu jiwa atau lebih dari 3.500 KK (kepala
keluarga) mengungsi, belasan desa terendam, ratusan hektar lahan pertanian
terendam, puluhan bangunan sekolah terendam, dan tak kurang 20 perusahaan
tutup. Bahkan semburan lumpur Lapindo
tersebut telah meningkatkan angka pengangguran akibat kehilangan pekerjaan.
Kejadian ini juga telah melumpuhkan transportasi jalan tol Porong, Gempot, dan
Surabaya, yang kerugiannya juga mengimbas pada perusahaan-perusahaan jasa
angkutan dan transportasi ekonomi lainnya.[3]
PT. Freeport McMoran Indonesia juga
mempunyai cerita tersendiri dari dampak lingkungan yang dibuat oleh mereka. Perusahaan
tambang emas yang terletak disebelah timur Indonesia adalah perusahaan tambang
tertua di negara ini. Perusahaan tambang Amerika ini sering dianggap mendikte
kebijakan pertambangan di Indonesia. Salah satu bukti, Kontrak Karya PT
Freeport Indonesia ditetapkan sebelum diberlakukannya UU Nomor 11/1967 tentang
Pertambangan umum. PT Freeport yang berlokasi di Grasberg dan Easberg,
Pegunungan Jaya Wijaya, menguasai 81,28% saham, sedangkan PT Indocopper
Investama sebesar 9,36%, dan pemerintah Indonesia sebesar 9,36%. Luas konsesi
yang diberikan kepada Freeport pun luar biasa, 1,9 juta hektar lahan di
Grasberg dan 100 km2 di Easberg.[4]
Kehadiran Freeport justru menjadi
bencana bagi masyarakat Papua daripada berkah. Bayangkan, Penambangan yang
dilakukan Freeport telah menggusur ruang penghidupan suku-suku di pegunungan
tengah Papua. Tanah-tanah adat tujuh suku, di antaranya suku Amungme dan Nduga,
telah dirampas sejak awal masuknya Freeport. Limbah tailling yang dihasilkan PT
Freeport telah menimbun 110 km2 wilayah Estuari dan mengalami
pencemaran linkungan. Sekitar 20-40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2
lahan subur terkubur akibat pembuangan limbah tailing tersebut.
Ketika banjir tiba, kawasan-kawasan
subur di lokasi itupun tercemar. Perubahan arah sungai Ajkwa pada
perkembangannya telah menyebabkan banjir, kehancuran hutan-hutan tropis (21 km2),
dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Kaum perempuan di Papua
tidak bisa lagi mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein
bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke
Papua. Timika, kota tambang PT. Freeport Indonesia, merupakan kota dengan
penderita HIV/AIDS tertinggi di Indonesia.[5]
Dari rentetan dampak lingkungan yang
ditimbulkan akibat pertambangan tentu sangat tidak menguntungkan bagi rakyat
Indonesia. Namun sekali lagi bisa dikatakan konstitusi telah dicederai jika
kita menelaah lebih mendalam pada salah satu pasal UU yang mengatur
pertambangan ini (UU No.4 tahun 2009). Dalam pengaturan mengenai IUP (izin
usaha pertambangan) Pasal 47, bahwa operasi produksi untuk pertambangan mineral
logam dapat diberikan dalam jangka waktu 20 tahun dan kemudian dapat
diperpanjang lagi selama 2 kali masing-masing 10 tahun. Secara matematika IUP
dapat digunakan selama 40 tahun oleh perusahaan pertambangan. Bayangkan dampak lingkungan jika selama 40 tahun
tersebut secara terus menerus sumber daya alam kita digerogoti oleh perusahaan
tambang. Jadi, dimanakah letak amanah konstitusi mengenai pendayagunaan
kekayaan alam yang katanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?
Belum lagi masalah bagi hasil, dalam
Pasal 129 Indonesia hanya mendapatkan 10% (4% untuk pemerintah pusat dan 6%
pemerintah daerah penghasil) dari hasil operasi pertambangan. Dan kembali jadi
pertanyaan apakah ini yang dikatakan SDA diperuntukan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat?
Coba kalau pemerintah dan DPR
membuat regulasi dalam bentuk UU untuk menasionalisasikan dengan mengembalikan
sumber kekayaan alam Indonesia kepada rakyat Indonesia, yang sering disebut
sebagai harta kepemilikan umum, maka dengan alih, tidak diserahkan kepada pihak
swasta baik dalam dan luar negeri, lalu kemudian dikelolaan dan hasilnya untuk
pelayanan umum seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, dan layanan
umum lainnya, dari sumber daya alam indonesia, dapat ini bisa menjadi solusi untuk
membayar hutang. Hal ini pernah dilakuakn oleh Presiden Soekarno yang
menghentikan dan mencabut izin perusahaan-perusahaaan asing di Indonesia.
Mungkin inilah tantangan terbesar
bagi calon Presiden yang akan berlaga pada tahun 2014 mendatang. Sudah jelas,
bahwa pertambangan sangat-sangat tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia.
Jangan sampai rakyat dijadikan korban lagi. Dan, yang lebih utama, kekayaan
alam tersebut jangan hanya dieksplorasi besar - besaran oleh pihak yang hanya
ingin memanfaatkan dan tidak bertanggung jawab akan lingkungan, tetapi dalam
kegiatan eksplorasi harus juga menjaga kelestarian alam dan lingkungan dari
kerusakan dan polusi demi generasi penerus bangsa berikutnya.