Rabu, 27 November 2013

Menasionalisasikan Sumber Daya Alam Indonesia Sesuai Amanah Konstitusi



Indonesia salah satu negara berkembang di dunia yang terkenal akan kekayaan dan keindahan  alam yang sangat luar biasa. Wilayah Indonesia yang mayoritas adalah daerah perairan juga memberikan andil yang besar pula terhadap kekayaan alam Indonesia. Tentunya, kita tidak bisa menghitung banyaknya kekayaan yang melimpah tersebut. Selain itu, laut juga menghiasi alam Indonesia. Berbagai sumber daya alam terkandung di dalamnya. Diantaranya, sumberdaya alam hewani dan nabati serta mineral. Aneka biota laut, khususnya ikan dengan berbagai macam jenis maupun ukuran menghiasi kekayaan laut. Rumput laut merupakan salah satu contoh sumber daya alam nabati.
 Lain dari pada itu, kekayaan Indonesia tidak sekadar terbatas pada kekayaan hayatinya, tetapi juga non hayatinya. Potensi kekayaan alam Indonesia yaitu areal hutan yang paling luas di dunia, tanahnya yang subur, alamnya yang indah, potensi kekayaan laut yang luar biasa (ikan, udang, mutiara, minyak dan mineral lainnya). Di darat terkandung barang tambang emas, nikel, timah, tembaga, batubara, di bawah perut bumi tersimpan gas dan minyak yang sangat besar.
            Potensi kekayaan alam Indonesia yaitu untuk biji-bijian nomer 6 di dunia, beras nomer 3 di dunia (setelah China & India), teh nomor 6 di dunia, kopi nomor 4 di dunia, coklat nomor 3 di dunia (setelah Pantai Gading & Ghana), minyak sawit nomor 2 di dunia setelah setelah Malaysia, lada putih terbesar di dunia dan lada hitam nomer 3 di dunia, puli dari buah pala terbesar di dunia, karet alam nomer 2 di dunia (setelah Thailand) dan penghasil karet nomer 4 di dunia jika termasuk karet sintetis.[1]
            Kekayaan tambang  9,5% produksi tembaga dunia nomer 3 setelah (Chili dan USA), 40% produksi timah dunia nomer 2 setelah China, 7% produksi nikel nomer 6 dunia, 5% produksi emas dunia nomor 8 dunia dan penghasilan batubara nomor 9 di dunia yang volume ekspornya meliputi 18,75% ekspor  batubara dunia. Di Papua saja terdapat 25 milyar ton tembaga nomor ke 3 dunia, 40 juta ons emas nomor 1 dunia dan 70 juta ons perak, yang nilainya ditaksir sekitar USD 40 milyar.[2]
            Dari aneka bahan tambang yang terkandung dalam perut bumi Indonesia tersebut tentunya merupakan kabar yang amat mengembirakan bagi kita rakyat Indonesia. Dan perlu disadari aneka bahan tambang tersebut merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, yang artinya bakal habis. Maka dengan itu pendayagunaan hasil sumber daya alam sudah menjadi keharusan diperuntukan buat mensejahterakan rakyatnya. Sesuai amanat konstitusi dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 “Bumi air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
            Secara normatif memang sumber daya alam diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakuran rakyat, namun hal ini bertolak belakang jika ditinjau dari segi empiris. Banyak perusahaan berdiri di Indonesia yang bergerak dalam bidang pertambangan dimiliki oleh perusahaan swasta baik dari dalam maupun luar negeri. PT. Freeport McMoran Indonesia, PT. Newmont Minahasa Raya, PT. Lapindo Brantas Inc dan PT. Adaro Indonesia adalah empat dari sekian banyak perusahaan yang mengambil keuntungan dari sumber daya alam indonesia.
            Sekali lagi Indonesia sebenarnya kaya akan sumber daya alam, namun posisi tawar Indonesia di hadapan negara-negara asing tetap saja lemah. karena sumber segala keruwetan adalah UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Melalui UU ini, ternyata banyak sekali pasal yang menguntungkan perusahaan tambang asing dan merugikan masyarakat. Singkat cerita, UU  pemerintah telah melepaskan perannya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan menyerahkan kepada para pemodal asing.
            Dalam Pasal 2 UU Nomor 4 tahun 2009 tersebut menyebutkan, bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berazaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan. Berarti, selama pemerintah memandang adanya kepemilikan asing bisa menguntungkan, maka kepemilikan modal mayoritas dari perusahaan asing boleh-boleh saja. Tapi nyatanya, beberapa perusahaan tambang asing justru malah menjadi sumber bencana bagi masyarakat Indonesia
            Tentu kita masih ingat bencana yang dibuat oleh PT. Lapindo Berantas Inc yang sampai sekarang belum kelar dampaknya. Akibat kelalaian Lapindo, pada 29 Mei 2006, lumpur panas menyembur dari sumur Banjar Panji-1 di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoardjo, Jawa Timur.  Semburan lumpur tersebut telah menimbulkan korban setidaknya 21 ribu jiwa atau lebih dari 3.500 KK (kepala keluarga) mengungsi, belasan desa terendam, ratusan hektar lahan pertanian terendam, puluhan bangunan sekolah terendam, dan tak kurang 20 perusahaan tutup.  Bahkan semburan lumpur Lapindo tersebut telah meningkatkan angka pengangguran akibat kehilangan pekerjaan. Kejadian ini juga telah melumpuhkan transportasi jalan tol Porong, Gempot, dan Surabaya, yang kerugiannya juga mengimbas pada perusahaan-perusahaan jasa angkutan dan transportasi ekonomi lainnya.[3] 
            PT. Freeport McMoran Indonesia juga mempunyai cerita tersendiri dari dampak lingkungan yang dibuat oleh mereka. Perusahaan tambang emas yang terletak disebelah timur Indonesia adalah perusahaan tambang tertua di negara ini. Perusahaan tambang Amerika ini sering dianggap mendikte kebijakan pertambangan di Indonesia. Salah satu bukti, Kontrak Karya PT Freeport Indonesia ditetapkan sebelum diberlakukannya UU Nomor 11/1967 tentang Pertambangan umum. PT Freeport yang berlokasi di  Grasberg dan Easberg, Pegunungan Jaya Wijaya, menguasai 81,28% saham, sedangkan PT Indocopper Investama sebesar 9,36%, dan pemerintah Indonesia sebesar 9,36%. Luas konsesi yang diberikan kepada Freeport pun luar biasa, 1,9 juta hektar lahan di Grasberg dan 100 km2 di Easberg.[4]
            Kehadiran Freeport justru menjadi bencana bagi masyarakat Papua daripada berkah. Bayangkan, Penambangan yang dilakukan Freeport telah menggusur ruang penghidupan suku-suku di pegunungan tengah Papua. Tanah-tanah adat tujuh suku, di antaranya suku Amungme dan Nduga, telah dirampas sejak awal masuknya Freeport. Limbah tailling yang dihasilkan PT Freeport telah menimbun 110 km2 wilayah  Estuari dan mengalami pencemaran linkungan. Sekitar 20-40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur akibat pembuangan limbah tailing tersebut.
            Ketika banjir tiba, kawasan-kawasan subur di lokasi itupun tercemar. Perubahan arah sungai Ajkwa pada perkembangannya telah menyebabkan banjir, kehancuran hutan-hutan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Kaum perempuan di Papua tidak bisa lagi mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke Papua. Timika, kota tambang PT. Freeport Indonesia, merupakan kota dengan penderita HIV/AIDS tertinggi di Indonesia.[5]
            Dari rentetan dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat pertambangan tentu sangat tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Namun sekali lagi bisa dikatakan konstitusi telah dicederai jika kita menelaah lebih mendalam pada salah satu pasal UU yang mengatur pertambangan ini (UU No.4 tahun 2009). Dalam pengaturan mengenai IUP (izin usaha pertambangan) Pasal 47, bahwa operasi produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu 20 tahun dan kemudian dapat diperpanjang lagi selama 2 kali masing-masing 10 tahun. Secara matematika IUP dapat digunakan selama 40 tahun oleh perusahaan pertambangan. Bayangkan  dampak lingkungan jika selama 40 tahun tersebut secara terus menerus sumber daya alam kita digerogoti oleh perusahaan tambang. Jadi, dimanakah letak amanah konstitusi mengenai pendayagunaan kekayaan alam yang katanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?
            Belum lagi masalah bagi hasil, dalam Pasal 129 Indonesia hanya mendapatkan 10% (4% untuk pemerintah pusat dan 6% pemerintah daerah penghasil) dari hasil operasi pertambangan. Dan kembali jadi pertanyaan apakah ini yang dikatakan SDA diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?
            Coba kalau pemerintah dan DPR membuat regulasi dalam bentuk UU untuk menasionalisasikan dengan mengembalikan sumber kekayaan alam Indonesia kepada rakyat Indonesia, yang sering disebut sebagai harta kepemilikan umum, maka dengan alih, tidak diserahkan kepada pihak swasta baik dalam dan luar negeri, lalu kemudian dikelolaan dan hasilnya untuk pelayanan umum seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, dan layanan umum lainnya, dari sumber daya alam indonesia, dapat ini bisa menjadi solusi untuk membayar hutang. Hal ini pernah dilakuakn oleh Presiden Soekarno yang menghentikan dan mencabut izin perusahaan-perusahaaan asing di Indonesia.
            Mungkin inilah tantangan terbesar bagi calon Presiden yang akan berlaga pada tahun 2014 mendatang. Sudah jelas, bahwa pertambangan sangat-sangat tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Jangan sampai rakyat dijadikan korban lagi. Dan, yang lebih utama, kekayaan alam tersebut jangan hanya dieksplorasi besar - besaran oleh pihak yang hanya ingin memanfaatkan dan tidak bertanggung jawab akan lingkungan, tetapi dalam kegiatan eksplorasi harus juga menjaga kelestarian alam dan lingkungan dari kerusakan dan polusi demi generasi penerus bangsa berikutnya.



[1] Suara Merdeka. 2005
[2] Julianto. APBD Anti Rakyat. Majalah Al-Wa’ie. Edisi No.122 Tahun XI, 1-31 Oktober 2010. Hlm 11.
[3] Imbas Aktivitas Pertambangan, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=367&type=10#.UpSpFFO_TDc. Diakses tanggal 26 November 2013.
[4] Ibid.
[5] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar